Pages

Selasa, 26 November 2013

MENITI HARIAKHIRKU


Pagi ini hari terasa berbeda, ku terbangun lebih awal dari biasanya. Ku mencoba meraba jam weker yang terpajang di samping tempat tidurku. Pukul lima lewat tiga puluh tujuh menit. ya inilah pertama kaliku terbangun mengalahkan jam weker yang telah ku steel dan siap membangunkanku setiap jam delapan pagi.
Ku coba untuk tidak lagi menarik selimutku, ku beranjak dari tempat tidurku. Ku membiarkan udara pagi merasuki tubuh mungilku yang kata orang mirip dengan chaching vokalis cangcuter. Ku melangkahkan kaki menuju kamar mandi, ku basuh wajahku dengan air keran. Dingin,,,, bukan lebih tepatnya sangat dingin, mungkinkah ini lagi musim salju pertama yang terjadi di Indonesia, airnya terasa bagai es yang telah membeku dengan derajat jauh dibawah nol.
Setelah kubasuh dan ku keringkan wajahku dengan sehelai handuk yang selalu tergantung di pintu kamar mandi, akupun beranjak menuju jendela, ku buka jendela dan seketika kurasakan hembusan angin surga duniawi menghempas wajah dan seluruh tubuhku, ku menghirup udara dalam-dalam dan kubiarkan udara segar itu merasuki paru-paruku yang telah ternodai dengan udara sesaknya ibukota, udara yang membawa berjuta macam dan jenis virus yang telah menggerogoti sebagian usia manusia. Setelah ku puas bermain dengan udara itu akupun menghempaskan wajahku ke arah timur dan kudapati sinar aneh berwarna merah kekuningkuningan yang membawa kehangatan bagi yang melihatnya, akupun terpaku oh betapa indahnya, kemana saja aku selama ini sehingga tak pernah menyaksikan ketika sang mentari penguasa kehidupan memulai tugasnya memberi cahaya bagi makhluk di bumi, mungkinkah selama ini aku terlalu sibuk yang terkadang menganggap siang sebagai malam dan malam ku anggap sebagai siang. Oh betapa bodohnya diriku, betapa sesalnya diriku sehingga tak mampumenikmati kejadian yang sungguh maha dahsyat yang selama ini tak pernah ku saksikan. Oh Tuhan betapa besar kuasaMU.
“Tok.. tok...tok., sayang.... bangun,,,,, sayang bangun dah pagi nihhh !!!!”
Tiba-tiba suara sang mamah mengagetkanku dari hayalan sejenaku, suara lembut yang penuh kasih sayang yang tiada bosan bosannya membangunkanku di pagi hari walau terkadang aku tak menghiraukannnya. Suara yang tidak pernah berubah walau beribu terpaan menghadang.
“ya..... mah.... imty sudah bangun....” jawabku dengan nada terlembut yang mungkin baru kali ini aku mendengarnya keluar dari mulut manusia seperti aku. Kuberanjak meninggalkan jendela dan menuju ke pintu kamarku, kubuka pintu kamarku dan kudapati sesosok tubuh renta berdiri tepat dihadapanku dengan seumbar senyum kehidupan yang terpancar bak mentari pagi yang menyinari bumi. Kutatap wajahnya dan kubalas senyumnya dengan senyuman termanis yang pernah kuberikan sewaktu aku bayi dulu.
Oh ya aku hampir lupa memperkenalkan namaku, namaku Imty Syahputri, gadis berusia 26 tahun yang hidup berdua dengan seorang ibu yang telah berusaha dengan kedua tangannya membesarkanku seorang diri, ayahku telah meninggal 13 bulan setelah kelahiranku. Semenjak itu ibu tak lagi pernah menikah, itu semua karena betapa besarnya cintanya kepada almarhum ayahku yang kini telah ia limpahkan kepadaku dengan setulus hati, walau tak jarang kumembalsnya dengan meneteskan air mata dari matanya yang indah, mata yang tak pernah tertidur ketika malam telah tiba, yang terus mendoakanku agar aku kembali menjadi anaknya yang ia bangga-banggakan sejak kecil dulu. Dan kini doa itu telah terjawab dengan vonis dokter terhadap penyakitku, aku terserang kanker otak stadium empat, atau boleh dikatakan stadium terakhir menjelang kematian. Kadang aku bersyukur karena dengan penyakitku ini aku bisa berubah. Aku tak tahu, mungkinkah ini hukuman Tuhan yang Dia berikan kepadaku atas kelakuanku selama ini, tapi kenapa ??? aku baru mulai tersadar ketika aku mulai terserang penyakit  ini. Apakah ini jalan Tuhan, agar sebelum kamatianku aku dapat membuat orang di sekelilingku dapat tersenyum terutama ibu yang telah banyak kulinagkan air matanya hanya karena tingkah bodohku yang tak dapat terkontrol.
“Gitu dong, anak mamah tidak boleh malas-malas lagi” sambil menambah lebarnya senyum di wajahnya.
“Iya... mah” sambil kudekap tubuh rentanya dan tanpa sadar air matakupun menetes perlahan membasahi pipiku, air mata yang mungkin baru keluar setelah lima belas tahun bersemanyam di dalam kantung mataku.
“Sudah.... emmm sarapan yuk..!!! mamah sudah buatin nasi goreng telur dadar kesukaan kamu, plus secangkir jus alpukat penambah staminah dipagi yang cerah ini”  bujuknya
Akupun melepaskan dekapanku, dan kamipun berjalan menuju ke meja makan, disana telah terisi berbagai santapan lezat kesukaan ku, dimulai dari nasi goreng kas buatan mamah sampai segelas susu hangat pengganti wisky dan anggur merah yang menjadi minum favoritku saat ini. Kusantap makan pagiku kali ini dengan semangat empat lima, kutengguk seteguk demi seteguk jus alpukat dan susu hangat buatan mamah.Setelah sarapan kubersihkan meja dan kucuci piring-piring kotor hasil dari pesta poraku pagi ini.
Pukul tujuh lewat tiga menit sembilan detik, tukang koran telah sampai didepan rumah kami siap mengantarkan berita-berita hangat minggu ini dimulai dari keadaan perekonomian yang kian merosot akibat banyaknya terjadi tindak korupsi dikalangan pejabat sampai berita-berita hot artis yang gonta-ganti pasangan mengikuti zaman. Akhirnya Ku meraih koran itu, dan sedikit kubolak balik mencari topik yaang mungkin akan enak dibaca pagi ini. Tiba-tiba mataku tertuju pada salah satu topik dipojok kanan atas dihalam lima, topik tentang seorang anak kecil yang merawat ibunya yang sedang  lumpuh. Akupun terkesimak dan mulai menmbacanya dengan penghayatan layaknya sedang mengerjakan soal analogika, kata demi katanya merasuki fikiranku sampai akhirnya aku berhenti sejenak dan menghayal apa yang bakal terjadi jikalau anak itu adalah aku, mungkin saja ibu telah lama mati bahkan mungkin dengan teganya aku menaburkan racun kedalam makanan dan minumannya. Oh betapa kejamnya diriku oh Tuhan.
***********
Pukul sembilan lewat lima belas menit sembilan detik, aku telah selesai menguyur tubuhku dengan air hangat yang keluar dari sower dikamar mandiku. Dan kini aku telah berpakaian rapih bak seorang artis yang siap mengadakan konser pengadaan artis terbaik sepanjang zaman. Dengan pakaian putih berbalut syal hijau daun yang bermotif bunga mawar aku melangkahkan kakiku menuju garasi mobil, kulihat mamah telah sejak tadi menungguku dengan sabarnya dengan stelan kasnya yakni pakaian blos biru muda kesukaannya. Dia tersenyum melihatku, dan menjemputku dengan membukakan pintu depan mobilnya bak seorang supir yang hendak mengantar tuannya.
“mah tidak usah, aku bisa sendiri kok mah” kataku mencoba menolak
“wah sayang, mamah tidak diberi kesempatan menjemput tuan putri dari singgasananya” candanya dengan sembari tersenyum dan tertawa kecil padaku.
Siang ini, kami telah berjanji dengan seorang dokter lulusan luar negeri. Mamah mengenalnya melalui seorang teman lamanya. Katanya dokter itu adalah dokter lulusan terbaik dari luar negeri spesialis penyakit kanker. Ya..... mamah memang hendak mengajakku menemui dokter itu, memang tak ada kata menyerah dalam kamus beliau, telah banyak yang dia lakukan untuk penyakitku ini, dimulai dari bermacam-macam obat tradisional yang hanya dijumpai dipelosok desa-desa terpencil sampai dokter-dokter hebat specialis penyakit kanker. Semua telah dilakukannya, dia tak ingin orang yang dia sanyangi harus terenggut darinya untuk kedua kalinya dengan penyakit yang sama. Untuk itu dia akan melakukan segala macam cara demi kesembuhanku.
Tak terasa setengah jam berlalu, kami telah sampai didepan sebuah rumah besar bercatkan hijau daun. Rumah yang ditamannya dipenuhi bunga-bunga indah yang telah mengundang bejuta pasang mata untuk menikmatinya. Tak heran lagi jika berpuluh-puluh kupu-kupu telah lihai berpindah dari satu bunga ke bunga yang lainnya demi mendapatkan setetes sari bunga. Tentu hal ini pulalah yang membawaku melangkahkan kaki ke taman itu. Tak kuasa hatiku menahan perasaan senang dan bahagia, namun semua itu sirna seketika ketika kurasakan kepalaku sakit sepuluh kali lipat dari biasanya, dan tiba-tiba gelap gulita. Akupun tak sadarkan diri.
***********
Ketika aku terbangun, mataku terasa berat. Kuperhatikan sekelilingku putih putih dan hanya putih dengan cahaya lampu yang sangat menyilau. Tak salah lagi inilah tempat yang paling aku benci rumah sakit, rumah yang dihuni beribu macam penyakit dengan bau kas obat yang menusuk hidungku, bau yang sejak kecil tak pernah ku sukai. Kuperhatikan disisi kanan tempat tidurku, mamah sedang lelep tertidur dengan tangan yang eratnya menggenggam jari-jemariku. Kulihat bekas tangis masih membasahi kedua pipinya. Kuperhatikan wajahnya dalam-dalam, wajah yang tak kenal lelah, pantang menyerah dan gigih namun penuh kehangatan dan kasih sayang. Tanpa terasa pipiku terasa hangat dengan tetesan air mataku yang tak terasa jatuh membasahi pipiku.
Kepalaku terasa berat, namun kutetap mencoba untuk mengerakkan tubuhku, perlahan-lahan kugerakan tanganku kearah kepala mamah dan membelainya dengan lembut. Aku berdoa kepada Tuhan semoga diujung usiaku ini aku dapat tetap melihat senyum diwajah tua renta yang selalu ada waktu untuk tetap mencurahkan kasih sayangnya kepadaku. Dan tiba-tiba mamah bangun dan seketika meperhatikanku, kulihat wajahnya kembali mencurahkan senyum termanisnya kepadaku, sambil memeluk tubuhku dengan erat kurasakan tetesan air mata telah kembali mengalir deras diwajahnya yang indah.
“mah... barapa hari aku tertidur ??” tanyaku dengan nada sangat rendah yang hampir-hampir tak dapat kudengar sendiri.
Diapun melepaskan pelukannya dan dengan cepat menyeka air matanya, “sayang baik-baik aja kan ?? bagaimana perasaanya sekarang ??” tanyanya dengan nada kekawatiran yang amat sangat.
“imty baik mah.... Cuma kepala agak sedikit berat, emm... berapa hari imty tertidur mah ??” tanyaku mengulangi pertanyaanku.
“empat hari sayang......”
“empat hariii......” sambungku dengan cepat memotong, “selama itukah aku tak sadarkan diri ??” tanyaku pada diri sendiri. Ya inilah waktu terlama aku tak sadarkan diri, mungkin aku harus terbiasa dengan hal ini, karena mungkin tidur selanjutnya mungkin akan lebih lama, atau bahkan tidur selajutnya ada tidurku yang terakhir kalinya yang tak dapat lagi aku sanggup membuka mata.
Mamahpun berdiri dari duduknya dan keluar dari ruangan, meninggalkanku seorang diri. Dan tak lama berselang pintu kembali terbuka dan masuklah sng pawang rumah sakit dengan pakaian kebesarannya bersama dengan pengawalnya lengkap dengan buku catatan pasien. Dan kulihat mamah menyusul dibelakangnya. Oh ternyata mamah keluar untuk memanggil dokter. Seleng beberapa menit dokterpn selesai memeriksaku, dan kali ini kulihat wajah penuh kekecewaan nampak jelas di wajahnya,  dokter mengajak turut serta mamah yang sejak tadi berdiri disisiku, dan tinggallah aku berdua dengan sang suster yang sedang memeriksa selang infus dan tabung oksigen serta peralatan lainnyta penunjang hidupku.
************
Tiba-tiba kepalaku kembali kumat, sakitnya menjadi sepuluh kali lebih hebat dari biasanya. Dan kurasakan sesak dialiran nafasku, tubuhku tak dapat kukendalikan lagi, mataku mulai berkunang kunang, dan kurasakan sakit yang begitu sangat mejalar dari ujung kaki sampai ubun-ubunku, tubuhku gemetar dan tak karuaan dan perlahan-lahan tak kurasakan lagi tubuh bagian bawahku. Mataku berkunang-kunang, namun masih dapat kulihat wajah ibuku yang berlinang air mata, namun sakitnya tak ingin membiarkanku berlama-lama menatap wajahnya, sakitnya menjadi seratus kali lipat dari biasanya dan tiba-tiba dunia menjadi gelap, ya hanya gelap, gelap tanpa suara.....................
**SEKIAN**

Tidak ada komentar: