BEGINILAH SEHARUSNYA KITA BERSAUDARA ...Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ... Disebuah desa yg subur, hiduplah 2 lelaki bersaudara. Sang kakak telah berkeluarga dgn 2 orang anak, sedangkan si adik masih melajang.Mereka menggarap satu lahan berdua dan ktka panen, hasilnya mereka bagi sama rata.Disuatu malam setelah panen, si adik duduk sendiri dan berfikir. "pembagian ini sungguh tidak adil, seharusnya kakakku lah yg mendapat bagian lebih banyak karena dia hidup dengan istri dan kedua anaknya.
"Maka dimalam yang sunyi itu diam2 dia menggotong satu karung padi miliknya dan meletakkanya dilumbung padi milik kakaknya".
Ditempat yg lain, sang kakak juga berfikir, "pembagian ini adil jika adikku mendapat bagian yang lebih bnyak, karena ia hidup sendiri, jika terjadi apa2 dengannya tak ada yang mengurus, sedangkan aku ada anak dan istri yg kelak merawatku."
Maka sang kakakpun bergegas mengambil satu karung dari lumbungnya dan mengantarkan dengan diam2 ke lumbung milik sang adik.
Kejadian ini terjadi bertahun-tahun ...
Dalam benak mereka ada tanda tanya, kenapa lumbung padi mereka seperti tak berkurang meski telah menguranginya setiap kali panen?
Hingga disuatu malam yang lengang setelah panen, mereka berdua bertemu ditengah jalan.
Masing2 mereka menggotong satu karung padi ...
Tanda tanya dalam benak mereka terjawab sudah, seketika itu juga mereka saling memeluk erat, mereka sungguh terharu ber urai air mata menyadari betapa mereka saling menyayangi.
Beginilah seharusnya kita bersaudara ...
Jangan biarkan Harta menjadi pemicu permusuhan melainkan menjadi perekat yg teramat kuat diantara saudara.
Tuhan telah menanamkan cinta pada hati mereka yg mau lelah memikirkan nasib saudara2 mereka.
Tuhan tak akan membiarkan kita kekurangan jika kita selalu berusaha mencukupi kehidupan orang lain.
Tuhan tak akan menyusahkan kita yg selalu berusaha membahagiakan orang lain ...!
~ o ~
Bismillahir-Rah maanir-Rahim ...
Suatu sore, ditahun 1525. Penjara
tempat tahanan orang-orang di situ terasa hening mencengkam. Jendral
Adolf Roberto, pemimpin penjara yang terkenal bengis, tengah memeriksa
setiap kamar tahanan.
Setiap sipir penjara membungkukkan
badannya rendah-rendah ketika 'algojo penjara' itu berlalu di hadapan
mereka. Karena kalau tidak, sepatu 'jenggel' milik tuan Roberto yang fanatik Kristen itu akan mendarat di wajah mereka.
Roberto marah besar ketika dari sebuah kamar tahanan terdengar
seseorang mengumandangkan suara-suara yang amat ia benci.
"Hai...hentikan suara jelekmu! Hentikan...!"
Teriak Roberto
sekeras-keranny a sembari membelalakan mata. Namun apa yang terjadi?
Laki-laki di kamar tahanan tadi tetap saja bersenandung dengan
khusyu'nya. Roberto bertambah berang.
Algojo penjara itu
menghampiri kamar tahanan yang luasnya tak lebih sekadar cukup untuk
satu orang. Dengan congak ia menyemburkan ludahnya ke wajah renta sang
tahanan yang keriput hanya tinggal tulang. Tak puas sampai di situ, ia
lalu menyulut wajah dan seluruh badan orang tua renta itu dengan
rokoknya yang menyala.
Sungguh ajaib... Tak terdengar secuil
pun keluh kesakitan. Bibir yang pucat kering milik sang tahanan amat
gengsi untuk meneriakkan kata Rabbi, wa ana 'abduka...
Tahanan
lain yang menyaksikan kebiadaban itu serentak bertakbir sambil berkata,
"Bersabarlah wahai ustadz...Insya Allah tempatmu di Syurga." Melihat
kegigihan orang tua yang dipanggil ustadz oleh sesama tahanan, 'algojo
penjara' itu bertambah memuncak amarahnya.
Ia perintahkan
pegawai penjara untuk membuka sel, dan ditariknya tubuh orang tua itu
keras-keras hingga terjerembab di lantai. "Hai orang tua busuk! Bukankah
engkau tahu, aku tidak suka bahasa jelekmu itu?! Aku tidak suka apa-apa
yang berhubung dengan agamamu!
Ketahuilah orang tua dungu,
bumi Sepanyol ini kini telah berada dalam kekuasaan bapak kami, Tuhan
Yesus. Anda telah membuat aku benci dan geram dengan 'suara-suara' yang
seharusnya tak pernah terdengar lagi di sini.
Sebagai
balasannya engkau akan kubunuh. Kecuali, kalau engkau mau minta maaf dan
masuk agama kami." Mendengar "khutbah" itu orang tua itu mendongakkan
kepala, menatap Roberto dengan tatapan tajam dan dingin.
Ia
lalu berucap, "Sungguh...aku sangat merindukan kematian, agar aku segera
dapat menjumpai kekasihku yang amat kucintai, Allah. Bila kini aku
berada di puncak kebahagiaan karena akan segera menemuiNya, patutkah aku
berlutut kepadamu, hai manusia busuk? Jika aku turuti kemauanmu, tentu
aku termasuk manusia yang amat bodoh."
Baru saja kata-kata itu
terhenti, sepatu lars Roberto sudah mendarat di wajahnya. Laki-laki itu
terhuyung. Kemudian jatuh terkapar di lantai penjara dengan wajah
bersimbah darah. Ketika itulah dari saku baju penjaranya yang telah
lusuh, meluncur sebuah 'buku kecil'. Adolf Roberto bermaksud
memungutnya. Namun tangan sang Ustadz telah terlebih dahulu mengambil
dan menggenggamnya erat-erat.
"Berikan buku itu, hai laki-laki
dungu!" bentak Roberto. "Haram bagi tanganmu yang kafir dan berlumuran
dosa untuk menyentuh barang suci ini!"ucap sang ustadz dengan tatapan
menghina pada Roberto. Tak ada jalan lain, akhirnya Roberto mengambil
jalan paksa untuk mendapatkan buku itu. Sepatu lars berbobot dua
kilogram itu ia gunakan untuk menginjak jari-jari tangan sang ustadz
yang telah lemah.
Suara gemeretak tulang yang patah terdengar
menggetarkan hati. Namun tidak demikian bagi Roberto. Laki-laki bengis
itu malah merasa bangga mendengar gemeretak tulang yang terputus. Bahkan
'algojo penjara' itu merasa lebih puas lagi ketika melihat tetesan
darah mengalir dari jari-jari musuhnya yang telah hancur.
Setelah tangan renta itu tak berdaya, Roberto memungut buku kecil yang
membuatnya penasaran. Perlahan Roberto membuka sampul buku yang telah
lusuh. Mendadak algojo itu termenung. "Ah...sepertiny a aku pernah
mengenal buku ini. Tapi kapan? Ya, aku pernah mengenal buku ini." suara
hati Roberto bertanya-tanya. Perlahan Roberto membuka lembaran pertama
itu.
Pemuda berumur tiga puluh tahun itu bertambah terkejut
tatkala melihat tulisan-tulisan "aneh" dalam buku itu. Rasanya ia pernah
mengenal tulisan seperti itu dahulu. Namun, sekarang tak pernah
dilihatnya di bumi Sepanyol.
Akhirnya Roberto duduk disamping
sang ustadz yang telah melepas nafas-nafas terakhirnya. Wajah bengis
sang algojo kini diliputi tanda tanya yang dalam. Mata Roberto rapat
terpejam. Ia berusaha keras mengingat peristiwa yang dialaminya sewaktu
masih kanak-kanak. Perlahan, sketsa masa lalu itu tergambar kembali
dalam ingatan Roberto.
Pemuda itu teringat ketika suatu sore di
masa kanak-kanaknya terjadi kericuhan besar di negeri tempat
kelahirannya ini. Sore itu ia melihat peristiwa yang mengerikan di
lapangan Inkuisisi (lapangan tempat pembantaian kaum muslimin di
Andalusia).
Di tempat itu tengah berlangsung pesta darah dan
nyawa. Beribu-ribu jiwa tak berdosa berjatuhan di bumi Andalusia. Di
hujung kiri lapangan, beberapa puluh wanita berhijab (jilbab) digantung
pada tiang-tiang besi yang terpancang tinggi.
Tubuh mereka bergelantungan tertiup angin sore yang kencang, membuat pakaian muslimah yang dikenakan berkibar-kibar di udara.
Sementara, di tengah lapangan ratusan pemuda Islam dibakar hidup-hidup
pada tiang-tiang salib, hanya karena tidak mau memasuki agama yang
dibawa oleh para rahib.
Seorang bocah laki-laki mungil tampan,
berumur tujuh tahunan, malam itu masih berdiri tegak di lapangan
Inkuisisi yang telah senyap. Korban-korban kebiadaban itu telah syahid
semua.
Bocah mungil itu mencucurkan airmatanya menatap sang ibu
yang terkulai lemah di tiang gantungan. Perlahan-lahan bocah itu
mendekati tubuh sang ummi yang tak sudah bernyawa, sembari menggayuti
abuyanya.
Sang bocah berkata dengan suara parau, "Ummi, ummi,
mari kita pulang. Hari telah malam. Bukankah ummi telah berjanji malam
ini akan mengajariku lagi tentang alif, ba, ta, tsa....? Ummi, cepat
pulang ke rumah ummi..."
Bocah kecil itu akhirnya menangis
keras, ketika sang ummi tak jua menjawab ucapannya. Ia semakin bingung
dan takut, tak tahu harus berbuat apa. Untuk pulang ke rumah pun ia tak
tahu arah. Akhirnya bocaah itu berteriak memanggil bapaknya, "Abi...
Abi... Abi..." Namun ia segera terhenti berteriak memanggil sang bapak
ketika teringat kemarin sore bapaknya diseret dari rumah oleh beberapa
orang berseragam.
"Hai...siapa kamu?!" teriak segerombolan
orang yang tiba-tiba mendekati sang bocah. "Saya Ahmad Izzah, sedang
menunggu Ummi..." jawab sang bocah memohon belas kasih. "Hah...siapa
namamu bocah, coba ulangi!" bentak salah seorang dari mereka.
"Saya Ahmad Izzah..." sang bocah kembali menjawab dengan agak grogi.
Tiba-tiba "plak! sebuah tamparan mendarat di pipi sang bocah. "Hai
bocah...! Wajahmu bagus tapi namamu jelek. Aku benci namamu.
Sekarang kuganti namamu dengan nama yang bagus. Namamu sekarang 'Adolf
Roberto'...Awas ! Jangan kau sebut lagi namamu yang jelek itu. Kalau kau
sebut lagi nama lamamu itu, nanti akan kubunuh!" ancam laki-laki itu.
Sang bocah meringis ketakutan, sembari tetap meneteskan air mata. Anak
laki-laki mungil itu hanya menurut ketika gerombolan itu membawanya
keluar lapangan Inkuisisi. Akhirnya bocah tampan itu hidup bersama
mereka.
Roberto sedar dari renungannya yang panjang. Pemuda itu
melompat ke arah sang tahanan. Secepat kilat dirobeknya baju penjara
yang melekat pada tubuh sang ustadz. Ia mencari-cari sesuatu di pusar
laki-laki itu. Ketika ia menemukan sebuah 'tanda hitam' ia berteriak
histeris, "Abi...Abi...Ab i..."
Ia pun menangis keras, tak
ubahnya seperti Ahmad Izzah dulu. Fikirannya terus bergelut dengan masa
lalunya. Ia masih ingat betul, bahwa buku kecil yang ada di dalam
genggamannya adalah Kitab Suci milik bapanya, yang dulu sering dibawa
dan dibaca ayahnya ketika hendak menidurkannya. Ia jua ingat betul
ayahnya mempunyai 'tanda hitam' pada bahagian pusar.
Pemuda
beringas itu terus meraung dan memeluk erat tubuh renta nan lemah.
Tampak sekali ada penyesalan yang amat dalam atas ulahnya selama ini.
Lidahnya yang sudah berpuluh-puluh tahun alpa akan Islam, saat itu
dengan spontan menyebut, "Abi... aku masih ingat alif, ba, ta, tha..."
Hanya sebatas kata itu yang masih terakam dalam benaknya.
Sang
ustadz segera membuka mata ketika merasakan ada tetesan hangat yang
membasahi wajahnya. Dengan tatapan samar dia masih dapat melihat
seseorang yang tadi menyeksanya habis-habisan kini tengah memeluknya.
"Tunjuki aku pada jalan yang telah engkau tempuhi Abi, tunjukkan aku
pada jalan itu..." Terdengar suara Roberto memelas.
Sang ustadz
tengah mengatur nafas untuk berkata-kata, ia lalu memejamkan matanya.
Air matanya pun turut berlinang. Betapa tidak, jika sekian puluh tahun
kemudian, ternyata ia masih sempat berjumpa dengan buah hatinya,
ditempat ini. Sungguh tak masuk akal. Ini semata-mata bukti kebesaran
ALlah.
Sang Abi dengan susah payah masih bisa berucap. "Anakku,
pergilah engkau ke Mesir. Di sana banyak saudaramu. Katakan saja bahwa
engkau kenal dengan Syaikh Abdullah Fattah Ismail Al-Andalusy.
Belajarlah engkau di negeri itu,"
Setelah selesai berpesan sang
ustadz menghembuskan nafas terakhir dengan berbekal kalimah indah
"Asyahadu anla Illaaha ilALlah, wa asyahadu anna Muhammad
Rasullullah...' . Beliau pergi dengan menemui Rabbnya dengan tersenyum,
setelah sekian lama berjuang dibumi yang fana ini.
Kini Ahmah
Izzah telah menjadi seorang alim di Mesir. Seluruh hidupnya dibaktikan
untuk agamanya, 'Islam, sebagai ganti kekafiran yang di masa muda sempat
disandangnya. Banyak pemuda Islam dari berbagai penjuru berguru
dengannya..." Al-Ustadz Ahmad Izzah Al-Andalusy.
Benarlah firman Allah...
"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, tetaplah
atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu.
Tidak ada perubahan atas fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS>30:30)
Wallahu a'lam bish-shawab ...
Semoga kita dapat mengambil pengetahuan yang bermanfaat dan bernilai ibadah ..
Wabillahi Taufik Wal Hidayah, ...
sumber Facebook Dunia islam
https://www.facebook.com/cintaduniaislam?ref=ts&fref=ts