Aku masih merasa lelah ketika
aku berhasil mencapai puncak gunung yang telah ku daki. Walaupun gunung yang ku
daki kali ini tak terlalu tinggi, namun udara dingin di sini jauh lebih menusuk
dibandingkan dengan gunung-gunung yang telah ku daki sebelumnya. Ku rebahkan
tubuhku diatas pangkuan bumi dengan permadani rerumputan hijau sebagai
pengalasnya, tak lupa ku jadikan sengatan matahri sebagai penghangatku dari
dingin yang menusuk ke dalam sendi-sendi tulangku.
Setelah
terlelap beberapa saat di pembaringanku yang terasa nyaman, akhirnya ku membuka
kedua mataku dan menyaksikan sekelilingku. Hutan, pepohonan hujau dan beberapa
buah tenda dengan aktivitas penghuninya, itulah pemandangan indah yang ku
saksikan disekelilingku.
“Masyaallah” keindahan yang kusaksikan hari itu membuatku
terasa terlepas dari beban-beban duniawi yang terus menghimpit hidupku, beban
sebagai mahasiswa tingkat akhir yang harus berburu waktu menyelesaikan
perkuliahan, beban sebagai anak lelaki di keluarga yang telah lama kehilangan
tulangpunggung pencari nafkahnya, beban sebagai manusia dengan sejuta rutinitas
dunia, juga beban sebagai pengemban amanah dakwah yang begitu berat yang
gunungpun yang ku pijak hari itu tak mampu memikulnya.
Selepas
berlehat sejenak, dengan sedikit agak malas ku menyeret kakiku menuju sumber
air untuk mengambil air wadhu bersama kawan-kawan yang lainnya untuk
melaksanakan sholat duhur dan ashar yang belum sempat kami tunaikan. Dengan
bantuan pengeras suara, kumandang adzan dari muadzin telah melalu lantang bak
surau kecil ditengah hutan terpencil. Dengan sedikit bergegas, melewati
celah-celah pepohonan ku menuju tenda, tempat kami menyimpan perbekalan
kami selama berada di atas gunung. Ku
raih ranselku, dan segera mengambil
jaket ketigaku dan mengenakannya “Ternyata air di atas gunung itu, tak
ubahnya sebuah es yang meleleh dan mengalir melalui ceelah-celah akar
pepohohonan yang berlumut” itulah keluhku bibirku yang melaui merasakan
angin-angin gunung telah bertiup.
Selang
beberapa saat, dengan gerakan-gerakan lambat dan penuh kekhusyuaan, terlepaslah
sudah beban dipundak yang menjadikan pembeda dengan ummat-ummat lain.
“sesungguhnya yang membedakan ummat islam dengan kekafiran adalah sholatnya”.
****
Sore
itu, suara serinai dari pengeras suara dengan teriakan takbir telah membuncah
aktifitas penghuni tenda yang mengaharuskan mereka harus berkumpul dengan
segera. Sore ini, kami dari panitia sepakat mengadakan sebuah permainan. Namun
uniknnya, permainan ini tidak akan pernah kau saksikan dan temukan di dunia game
maupun fitur-fitur permainan lainnya. Karena permainan sore itu, adalah
permainan yang tak biasa, permainan yang akan membuat kita kembali ke beberapa
abad silam, ketika agama islam itu hadir ditengah-tengah ummat untuk
mengajarkan tauhid hanya kepada Allah.
Yah..
inilah simulasi perang badar, perang besar pertama ummat islam dengan
menggunakan senjata untuk menumpas kekafiran di bumi arab. Namun tentulah,
karena hanya simulasi dan permainan semata jadi tak menggunakan benda-benda
berbahaya, namun yang ingin dititik beratkan adalah ibrah dari perang tersebut.
Olehnya permainan kali ini, hanyalah berlomba merebut panji (bendera) lawan
mereka.
Perang
dimulai dengan adu tanding (sparing) para
jagoan dari dua buah kubu. Sparing kali
ini, adalah berlomba memperebutkan secarik kain yang diselipkan di saku
belakang para jagoan. Dengan semangat
menggebu, para perwakilan dari dua kubuh saling adu kekuatan dan ketangkasan untuk dengan
segera merebut secarik kain milik lawannya. Setelah ditentukan pemenangnya maka
tahap selanjutnya perang besar dimulai. Disertai lantunan takbir yang terus
menggema di tengah hutan belantara semangat para peserta mulai terbakar, mereka
dengan cekatan dengan startegi masing-masing berusaha merebut panji yang
dipegang oleh masing-masing pemimpin lawannya.
Tak
terasa, malam telah menjelang,
suara-suara jangkrik mulai memekik ditengah kesunyian hutan. Sang pangeran
matahari perlahan meninggalkan singgasananya, menyisahkan sedikit cahaya
disela-sela dedaunan dan ranting-ranting pohon. Malam ini menjadi malam pertama
di puncak gunung itu, ditemani hitamnya malam, suara binatang
malampun mulai merembes memecah kesunyian, dan tak kalah menggetarkan udara dingin menusuk telah
merembes masuk kedalam baju-baju baja
yang berlapis. Namun kesemuanya tak bisa menghentikan lantunan kumandang adzan
sang muadzin untuk memanggil jiwa-jiwa kosong untuk segera menghadap keperaduan
sang pemilik malam. Lantunan bait-bait kalimat Allah menjadi penghangat tubuh yang
mulai ringkuh dan takluk dari udara dingin.
“Tidaklah ku jadikan pergantian siang dan
malam sebagai tanda-tanda ke kuasaKu bagi orang-orang yang berfikir”.
Yah…
inilah malam pertamaku ketika berada di puncak gunung “Kanreapia”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar